Apa arti konsumerisme? Coba bayangkan, setiap hari kita terus membeli barang-barang baru, baju, gadget, makanan cepat saji, bahkan barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.
Rasanya, belanja sudah jadi kebiasaan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita, ya?
Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: Kenapa sih, kita terus membeli dan mengonsumsi? Perlu banget nggak sih barang ini dibeli sekarang? Apa dampaknya pada diri kita, bahkan lingkungan sekitar kita?
Nah, di sinilah istilah konsumerisme mulai masuk ke dalam pembahasan. Konsumerisme bukan sekadar tentang konsumsi barang atau jasa.
Lebih dari itu, ini adalah pola pikir atau gaya hidup yang menganggap bahwa semakin banyak kita membeli atau memiliki, semakin baik pula hidup kita.
Gampangnya, konsumerisme membuat kita berpikir bahwa kebahagiaan itu terjadi ketika kita dapat membeli barang yang kita inginkan.
Masalahnya, konsumerisme bukan cuma soal kepuasan sesaat atau tren sosial.
Ada sisi gelap yang jarang kita sadari yaitu, dampak negatif konsumerisme pada lingkungan.
Bayangkan limbah plastik dari makanan kemasan, atau jejak karbon yang dihasilkan dari produksi barang yang kita beli terus-menerus. Semakin banyak kita membeli, semakin menumpuk pula akibat buruk yang ditimbulkan dari konsumerisme yang terus menerus terjadi di Bumi ini.
Makanya, penting sekali untuk memahami apa itu konsumerisme dan dampaknya, terutama pada lingkungan.
Artikel ini akan mengupas tuntas hal tersebut: dari pengertian konsumerisme, faktor penyebabnya, hingga dampak negatifnya pada bumi kita tercinta.
Jadi, yuk kita telusuri lebih jauh! Siapa tahu, setelah membaca ini, kamu bisa melihat gaya hidupmu dengan cara yang baru dan, mungkin, mulai membuat perubahan kecil untuk menyelamatkan lingkungan.
- Apa arti konsumerisme?
- Faktor apa saja yang mendorong konsumerisme?
- #1 Pengaruh media dan iklan yang sangat kuat.
- #2 Teknologi dan Kemudahan E-Commerce.
- #3 Budaya sosial yang mementingkan gengsi.
- #4 Pola pikir bahwa "kebahagian bisa dibeli".
- #5 Globalisasi dan produksi massal.
- #6 Strategi pemasaran yang biasanya manipulatif.
- #7 Siklus konsumsi yang diwariskan generasi sebelumnya dalam keluarga.
- Apa dampak dampak negatif konsumerisme pada lingkungan?
- Kenapa kita harus peduli terhadap dampak negatif hasil konsumerisme terhadap lingkungan?
- Manusia adalah makhluk yang paling mungkin untuk menjaga bumi dengan bijak.
Apa arti konsumerisme?
Setelah membaca pendahuluan tadi, mungkin Anda mulai bertanya-tanya, “Oke, konsumerisme itu kayaknya udah sering terdengar, tapi sebenarnya apa sih artinya?” Nah, biar nggak makin penasaran, yuk kita bahas definisinya.
Secara sederhana, konsumerisme adalah sebuah pola pikir atau gaya hidup di mana seseorang cenderung mengukur kebahagiaan atau kesuksesan dari seberapa banyak barang atau jasa yang mereka konsumsi.
Jadi, dalam budaya konsumerisme, semakin banyak kita membeli, semakin “berharga” atau “bahagia” hidup kita terlihat, setidaknya di permukaan.
Namun, konsumerisme lebih dari sekadar perilaku belanja biasa.
Ini adalah fenomena yang lahir dari kombinasi berbagai faktor, seperti pengaruh iklan yang agresif, media sosial, tren gaya hidup, hingga kemudahan teknologi seperti e-commerce.
Anda pernah tidak, scrolling media sosial lalu tiba-tiba merasa ingin beli barang yang sedang dipromosikan seorang influencer? Itulah salah satu efek nyata konsumerisme yang sering kita alami tanpa sadar
Konsumerisme juga sering dikaitkan dengan budaya konsumsi berlebih, atau overconsumption.
Contohnya, membeli pakaian yang akhirnya cuma dipakai sekali, atau membeli gadget baru padahal yang lama masih berfungsi dengan baik.
Dalam jangka panjang, pola hidup seperti ini bisa menyebabkan berbagai masalah, bukan hanya bagi dompet kita, tapi juga planet bumi.
Dalam kadar tertentu, konsumsi memang penting untuk mendukung perekonomian. Namun, masalah mulai muncul ketika konsumsi menjadi berlebihan atau tidak terkendali, hingga menciptakan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat.

Contoh paling sederhana? Pada preses produksi barang-barang yang kita beli, dibutuhkan energi, bahan baku, dan sumber daya alam untuk membuatnya.
Akibatnya, semakin besar permintaan pada suatu barang, semakin tinggi pula eksploitasi yang dilakukan terhadap sumber daya alam yaitu, mulai dari penebangan hutan, pencemaran air, hingga emisi karbon dari proses produksi dan pengiriman barang.
Jadi, sekarang kita sudah tahu, konsumerisme bukan hanya soal “belanja”, tapi lebih ke arah pola pikir dan gaya hidup yang bisa berdampak luas.
Masih tertarik untuk tahu lebih jauh tentang faktor-faktor apa yang bikin konsumerisme makin merajalela? Yuk, lanjut ke bagian berikutnya!
Faktor apa saja yang mendorong konsumerisme?

Kira-kira, kenapa, sih, konsumerisme bisa jadi gaya hidup yang begitu dominan di masyarakat modern?
Nah, ternyata ada banyak faktor yang mendorong fenomena ini.
#1 Pengaruh media dan iklan yang sangat kuat.
Bayangkan ini: Anda sedang menonton TV atau scrolling media sosial, dan tiba-tiba muncul iklan sebuah produk yang terlihat ‘wow’ sekali. Kalimat promonya menggoda, tampilan visualnya bagus dan menarik, dan seolah-olah berkata, “Kalau Anda punya ini, hidup jadi lebih sesuai tren dan keren!”
Nah, iklan seperti inilah yang jadi motor utama konsumerisme.
Perusahaan pasti menggunakan segala cara seperti, mulai dari iklan kreatif, endorsement selebriti, hingga strategi FOMO (Fear of Missing Out), untuk membuat kita merasa harus membeli sesuatu, walaupun sebenarnya kita tidak terlalu membutuhkannya.
Media sosial memperparah situasi ini dengan fitur personalized ads yang menargetkan apa yang kita suka berdasarkan data aktivitas online kita.
Pernah merasa seperti “dibuntuti” iklan setelah mencari produk tertentu? Itu bukan kebetulan. Itulah strategi untuk terus menggiring kita menjadi konsumen.
#2 Teknologi dan Kemudahan E-Commerce.
Berbeda dengan zaman dulu, sekarang belanja sudah semudah beberapa kali menggerakan jempol dan jari-jari di layar ponsel dan komputer.
Dengan adanya platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, atau Lazada, kita bisa membeli apa saja kapan saja, bahkan dari kamar tidur sambil rebahan.
Ditambah lagi, adanya diskon besar-besaran seperti “Harbolnas” (Hari Belanja Online Nasional) atau “12.12 Sale” semakin mendorong kita untuk belanja impulsif.
Bahkan, barang yang sebelumnya tidak kita pikirkan untuk dibeli tiba-tiba terlihat menarik hanya karena harganya sedang murah karena diskon.
Akhirnya, tanpa sadar kita jadi konsumen aktif yang terus-menerus membeli barang.
#3 Budaya sosial yang mementingkan gengsi.
Konsumerisme sering kali dipengaruhi oleh tekanan sosial.
Dalam budaya modern, memiliki barang tertentu atau mengikuti trend yang baru sering kali dihubungkan dengan status sosial.
Misalnya, punya ponsel model terbaru atau tas branded dianggap sebagai simbol kesuksesan.
Media sosial memperparah budaya ini karena seolah-olah apa yang dilihat saat scrolling media sosial menjadi sebuah ajang “perlombaan gaya hidup”.
Kita sering melihat orang lain memamerkan barang baru, liburan mewah, atau gaya hidup mahal di Instagram atau TikTok, dan tanpa sadar, kita merasa perlu mengikuti tren tersebut.
Kebanyakan orang menjadi takut dianggap “ketinggalan zaman” jika tidak memiliki barang yang sama.
#4 Pola pikir bahwa “kebahagian bisa dibeli”.
Salah satu akar konsumerisme adalah keyakinan bahwa memiliki lebih banyak barang akan membuat hidup kita lebih bahagia.
Padahal, kebahagiaan seperti ini biasanya hanya bersifat sementara.
Coba deh, ingat saat kamu membeli barang yang sudah lama kamu incar. Rasanya senang banget, kan?
Tapi, setelah beberapa waktu, rasa senang itu biasanya memudar, dan kita mulai mencari barang baru untuk dibeli.
Pola ini disebut hedonic treadmill, di mana kita terus merasa kurang puas dan ingin membeli lebih banyak lagi.
#5 Globalisasi dan produksi massal.
Globalisasi juga memegang peranan besar dalam mendorong konsumerisme. Dengan perdagangan internasional yang makin mudah, berbagai produk dari seluruh dunia kini tersedia dengan harga yang jauh lebih terjangkau.
Produksi massal memungkinkan barang dibuat dalam jumlah besar dengan biaya rendah, sehingga kita terdorong untuk membeli lebih banyak.
Namun, di balik harga murah itu ada biaya tersembunyi seperti eksploitasi tenaga kerja, kerusakan lingkungan akibat proses produksi, dan limbah barang yang menumpuk akibat tidak terjual seluruhnya.
#6 Strategi pemasaran yang biasanya manipulatif.
Perusahaan kini semakin pintar dalam memasarkan produknya.
Salah satu contohnya adalah dengan menciptakan kebutuhan palsu. Mereka membuat konsumen merasa bahwa produk tertentu adalah hal yang esensial, padahal sebenarnya tidak seperti itu.
Misalnya, produk perawatan kulit dengan klaim-klaim bombastis yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan oleh sebagian besar orang.
Namun, karena “takut ketinggalan” atau “terlalu bagus untuk dilewatkan”, kita akhirnya membelinya.
#7 Siklus konsumsi yang diwariskan generasi sebelumnya dalam keluarga.
Terakhir, kebiasaan konsumsi sering kali diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pola pikir orang tua yang menganggap bahwa “lebih banyak itu lebih baik atau bisa beli lagi yang baru” bisa memengaruhi anak-anak mereka.
Ditambah lagi, kita hidup di dunia yang terus mempromosikan pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi.
Semua faktor di atas menciptakan siklus konsumerisme yang sulit dihentikan.
Sayangnya, siklus ini membawa dampak yang tidak hanya memengaruhi dompet kita, tapi juga lingkungan sekitar. Semakin banyak yang kita konsumsi, semakin besar pula beban yang harus ditanggung bumi kita.
Apa dampak dampak negatif konsumerisme pada lingkungan?
Setelah memahami apa itu konsumerisme dan faktor-faktor yang membuatnya begitu melekat dalam kehidupan kita, sekarang kita akan bahas sisi gelapnya: dampak negatif konsumerisme terhadap lingkungan.

Sayangnya, semakin banyak kita membeli dan mengonsumsi, semakin besar pula tekanan yang kita berikan pada bumi kita.
#1 Peningkatan limbah dan polusi.
Konsumerisme dan peningkatan jumlah limbah sangat berbanding lurus.
Coba pikirkan, dari semua barang yang terus-menerus dibeli seperti makanan cepat saji, pakaian, barang elektronik, dan lain sebagainya, berapa banyak sampah yang dihasilkan dari dari kemasan setiap barang yang dibeli dan produk-produk yang akhirnya dibuang begitu saja?
Salah satu contoh nyata adalah limbah plastik. Sekitar lebih dari 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya, dan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) dan sisanya terombang-ambing di lautan.
Plastik menyebabkan polusi yang sulit terurai karena plastik membutuhkan waktu ratusan tahun untuk benar-benar terurai.
Selain itu limbah plastik yang berakhir tersebar dilingkungan sangat berpotensi menjadi micro plastik berbahaya yang mencemari lingkungan dan masuk kedalam rantai makanan.
Tidak hanya plastik, limbah e-waste atau limbah elektronik hasil konsumerisme juga mulai tidak terkontrol.
Masih sedikit sekali lembaga yang mampu me-recycle limbah elektronik ini dengan baik. Akibatnya bahan beracun seperti timbal dan dan merkuri juga dapat mencemari lingkungan.
#2 Eksploitasi sumber daya alam yang tak kunjung selesai.
Kebutuhan konsumen yang terus meningkat membuat banyak perusahaan memproduksi barang dalam jumlah yang sangat besar atau produksi massal.
Sayangnya, proses produksi ini sering kali dilakukan dengan mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
Sebagai contoh, industri fast fashion (mode cepat) memerlukan ribuan liter air hanya untuk memproduksi satu potong pakaian. Dan limbah pakaian dari fast fashion yang tidak terjual sangatlah tidak masuk akal.
Belum lagi penebangan hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu, kertas, tissue, atau bahkan untuk membuka lahan untuk proses berlajalannya industri dengan cara membabat habis hutan.
Akibatnya, hutan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia, semakin menyusut, semakin berkurang, dimana tentunya hal memicu berbagai masalah seperti perubahan iklim dan hilangnya habitat satwa liar.
#3 Peningkatan emisi gas rumah kaca.
Gaya hidup kebanyakan orang yang sangat konsumtif sangat berkontribusi besar terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca.
Proses produksi barang, mulai dari ekstraksi bahan baku hingga distribusi ke tangan konsumen, semuanya membutuhkan energi yang besar.
Sebagian besar energi ini masih berasal dari bahan bakar fosil, yang melepaskan karbon dioksida (CO2) ke atmosfer dan membuat Bumi semakin menjadi panas.
Misalnya, produksi makanan cepat saji dan produk daging berkontribusi besar pada jejak karbon global.
Penelitian menunjukkan bahwa industri peternakan bertanggung jawab atas 14,5% emisi gas rumah kaca global. Selain itu, transportasi barang, terutama dalam era e-commerce, juga memperburuk jejak karbon karena melibatkan pengiriman dalam jarak jauh.
#4 Penurunan kualitas ekosistem.
Produksi massal dan konsumsi yang tak terkendali juga sangat berdampak pada kualitas ekosistem.
Penambangan bahan tambang untuk kebutuhan produksi barang elektronik, misalnya, mengakibatkan kerusakan pada struktur tanah dan menyebabkan erosi.
Selain itu, limbah kimia dari pabrik sering kali dibuang langsung ke sungai atau laut, dimana hal ini sangat mencemari air dan mempengaruhi kualitas hidup juga membunuh biota laut.
Akibatnya, ekosistem yang sebelumnya seimbang menjadi terganggu.
Spesies tertentu kehilangan habitatnya, rantai makanan banyak yang terputus, dan biodiversitas global menjadi terus menurun.
#5 Situasi penumpukan sampah di negara berkembang.
Konsumerisme pada skala global juga membawa dampak tidak adil bagi negara-negara berkembang.
Banyak negara maju yang “mengekspor” alias membuang limbah mereka ke negara-negara berkembang, baik dalam bentuk limbah plastik maupun elektronik.
Dimana fenomena ini merupakan kejadian yang menggeramkan dan disayangkan sekali mengapa hal ini diperbolehkan oleh banyak negara.
Padahal, negara-negara berkembang ini juga sering kali kedapatan tidak memiliki sistem pengelolaan limbah yang memadai, sehingga yang terjadi adalah menumpukan sampah di negara yang menerima sampah tersebut menjadi masalah besar yang mencemari tanah, air, dan udara, jelas sekali perusakan lingkungannya.
#6 Mendorong konsumsi berlebih dan overproduksi.
Dalam siklus konsumerisme, overproduksi adalah salah satu akibat yang tidak mungkin dihindari.
Barang-barang diproduksi dengan sangat cepat untuk memenuhi permintaan pasar, meskipun barang tersebut tidak selalu terjual habis.
Akibatnya, banyak produk yang akhirnya dibuang begitu saja, menciptakan limbah produksi yang sia-sia.
Sebagai contoh, industri fast fashion menghasilkan lebih dari 92 juta ton limbah tekstil setiap tahun, dimana sebagian besar dari pakaiannya tidak terjual atau hanya dipakai sekali saja.
Pemumpukan limbah hasil over produksi ini tidak hanya membuang-buang sumber daya, tetapi juga menghasilkan gas metana saat proses pembusukan di tempat pembuangan sampah.
Kenapa kita harus peduli terhadap dampak negatif hasil konsumerisme terhadap lingkungan?
“Kenapa sih kita harus peduli? Lagipula, apa yang bisa dilakukan satu orang untuk memperbaiki masalah sebesar ini?”
Mungkin masih ada yang bertanya seperti ini.
Well, sebenarnya, ada banyak alasan kenapa kita semua, tanpa terkecual, harus mulai memikirkan dampak konsumerisme.
Dampak-dampak ini bukanlah hal yang bisa diabaikan dan dianggap sebagai sebuah normalisasi.
Kalau kita terus-menerus mengonsumsi tanpa berpikir panjang, bumi kita akan semakin rusak.
Perubahan iklim akan semakin sulit dikendalikan juga dicegah, sumber daya alam akan habis lebih cepat, dan generasi mendatang atau anak-anak kita akan mewarisi dunia yang penuh dengan limbah, kerusakan, dan penyakit.
Yuk, kita lihat beberapa alasan utama kenapa kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap masalah ini.
- Planet Bumi ini adalah planet yang sampai saat ini menjadi habitat manusia.
Dengan gaya hidup konsumtif yang terus meningkat, kita secara perlahan “memakan” rumah kita sendiri. Sumber daya seperti air bersih, udara segar, dan tanah subur yang dulunya melimpah, sekarang semakin menipis karena overproduksi dan konsumsi yang berlebihan. Kalau kita tidak peduli sekarang, anak-anak kita mungkin akan hidup di dunia yang penuh dengan limbah, udara yang tercemar, dan sumber daya alam yang habis. - Krisis lingkungan berdampak terhadap seluruh kehidupan di Bumi.
Ketika ada yang berbicara tentang lingkungan, kebanyakan orang berpikir hanya tentang kebersihan dan kehidupan kita, manusia, dalam lingkungan tersebut. Padahal krisis lingkungan berpengaruh kepada seluruh aspek kehidupan. Misalnya, perubahan iklim yang dipicu oleh emisi gas rumah kaca menyebabkan suhu global meningkat. Akibatnya, bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai menjadi lebih sering terjadi. Belum lagi masalah kesehatan yang muncul akibat polusi udara dan air. Menurut data WHO, sekitar 7 juta orang meninggal setiap tahun akibat polusi udara. Dimana bencana ini tentunya juga mengganggu keseimbangan ekosistem secara keseluruhan dan berdampak pada setiap kehidupan yang berlangsung. - Konsumerisme memperburuk ketimpangan sosial.
Percaya atau tidak, konsumerisme juga menciptakan ketimpangan sosial yang semakin besar. Di satu sisi, orang-orang di negara maju menikmati berbagai kemudahan berkat konsumsi barang murah. Tapi di sisi lain, negara-negara berkembang harus menanggung dampaknya, baik dari limbah yang dikirimkan ke sana maupun dari eksploitasi tenaga kerja untuk produksi barang. Sebagai contoh, pekerja di industri fast fashion sering kali mendapatkan upah rendah dan bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi, hanya untuk menghasilkan pakaian murah yang kita beli tanpa berpikir dua kali. Kalau kita peduli dengan keadilan sosial, mengurangi konsumerisme adalah salah satu langkah penting yang bisa kita ambil. - Dampak jangka panjang dari konsumerisme lebih membahayakan dari yang kita bayangkan.
Mungkin saat ini dampak dari konsumerisme belum terasa begitu nyata bagi sebagian orang. Tapi, dalam jangka panjang, ini bisa menjadi ancaman yang serius bagi peradaban manusia. Hilangnya biodiversitas akibat deforestasi bisa mengganggu keseimbangan ekosistem bumi. Ketika satu spesies punah, rantai makanan terputus, dan ini bisa berdampak besar pada kelangsungan hidup manusia. Kita juga akan menghadapi lebih banyak konflik akibat perebutan sumber daya alam yang semakin langka, seperti air bersih dan lahan yang subur. - Perubahan kecil sangat bisa membuat perbedaan yang besar.
Mungkin ada saja sebagian dari Anda yang masih berpikir “Apa mungkin satu orang bergerak akan bisa menghentikan konsumerisme?“. Tentunya pertanyaan seperti ini merupakan pertanyaan yang muncul dari pemikiran yang sangat wajar. Namun, yang perlu diingat adalah satu orang mulai bergerak, dapat menginspirasi orang-orang disekitarnya. Begitu juga dengan orang-orang yang terinspirasi tersebuat. Sehingga semakin lama akan semakin banyak yang melakukannya.
Manusia adalah makhluk yang paling mungkin untuk menjaga bumi dengan bijak.
Planet bumi yang kita tempati saat ini, selain manusia, juga di tempati oleh makluk hidup lain seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Bila Anda menyadarinya, hewan dan tumbuh-tumbuhan sudah menjalankan peran meraka dalam merawat bumi ini dengan baik. Yaitu, dengan cara menjalankan hidup mereka sesuai dengan hukum alam yang ada sehingga ekosistem alam dan rantai makanan dapat terjaga dengan baik.
Namun keberlangsungan ekosistem alam dan rantai makanan sangat dapat terganggu oleh ulah manusia yang rakus dan sistem konsumerisme yang ada saat ini.
Tadi bila Anda telah membaca artikel ini dengan seksama, tentunya Anda sudah tahu bagaimana konsumerisme menrusak bumi.
Yang perlu digarisbawahi disini adalah Bumi bukan hanya untuk dinikmati saat ini saja. Kita harus ingat bahwa generasi kita, sebagai manusia, tentunya akan berganti dimana nanti anak-anak dan cucu kita dimasa depan akan merasakan dan menjalankan bagaimana bertahan hidup di bumi ini.
Jangan sampai, seperti yang sudah terjadi sekarang, kita turut mewariskan masalah yang besar kepada mereka.
Mengubah suatu kebiasaan hidup yang konsumtif sangatlah tidak mudah. Terlebih lagi ketika kita sudah dikelilingi oleh pengaruh iklan dan media yang terus mengekspos kita untuk terus-menerus membeli dan membeli barang baru.
Namun, dengan kesadaran, langkah kecil yang konsisten, dan ajakan terhadap teman-teman terdekat tentunya akan membawa kebaikan yang perlahan-lahan akan terus membesar kebaikannya.
Jangan sampai kita menjadi seorang konsumen yang tak berdaya. Jadilah seorang konsumen yang pintar dan dapat memilah apa yang memang perlu dibeli dan apa yang tidak. Juga barang apa yang layak untuk kita beli dan apa yang tidak.

Detak Bumi mempunyai misi untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk memahami apa yang sedang terjadi di Bumi terhadap lingkungan, alam, satwa, dan keseluruhan eco system. Kita semua adalah earthlings dan Bumi adalah rumah kita selama kita masih hidup. Masa depan kesehatan dan kelestarian Bumi bergantung kepada aksi nyata kita yang kita lakukan dari sekarang.
Leave a Reply